Bangga Mendidik Anak menjadi JUARA

Kali ini saya sudah bisa membuktikan, bahwa saya bisa mendidik siswa-siswi menjadi yang disegani. Walau sekolah negeri dan tidak seperti sekolah favorit (karena berada dipinggir) dengan orang tua siswa yang kebanyakan pedagang pasar tapi saya bisa mendapatkan emas dari mereka. Melatih mereka menjadikan juara + mendapat piala.

Kebanggaan tersendiri, tapi semua itu juga harus mendapat dukungan dari guru lainnya dan yang paling penting orang tua. Fungsi saya hanya sekedar melatih. Dukungan full dari orang tua juga sangat saya butuhkan. Ada beberapa yang nakal juga sampai sama orang tuanya tidak dipercaya (karena sering menipu) sehingga ketika dia bilang ikut lomba orang tua tidak percaya sama sekali. Akhirnya saya harus datang kerumahnya dan menjelaskan semua.

Belum menjadi yang nomer satu sih… tapi itu sudah bisa membuat saya bangga sekali. Kebanggaan ini saya rasakan sampai tak bisa menahan haru. Inilah bukti bahwa semua orang itu sama cuman bagaimana mereka mendapatkan perhatian dari siapa saja yang disekitarnya dan memberi motivasi. Cita-cita saya sudah tercapai dalam mengajar, mungkin saya hanya berkeinginan lebih untuk level diatasnya. Hanya satu yang saya tanamkan dan sangat mendasar … SAYA BISA… SAYA PASTI BISA…. dan berlatih terus menerus…

PENGARUH FILM KARTUN PADA ANAK

Mungkin ini dianggap sepele bagi semua orang dewasa, karena sekarang film kartun dianggap membantu pekerjaan dari orang tua mengasuh anak, setidak-tidaknya anak bisa tenang bin diam ketika mereka melihat kartun. TApi tahukah anda efek samping dari melihat film kartun bagi masa depan mereka, pengaruh langsung pada pendidikan mereka.

YAng jelas kinerja otak mereka akan menurun ketika ditemukan dengan hal-hal yang berada disekitar mereka, otak mereka dipenuhi bagaimana atraksi tokoh kartun, kebanyakn bahkan meniru. Inilah yang terjadi di Indonesia, Pemerintah hanya menyadari akan hal peningkatan dan pendidikan tapi tidak memonitor apa yang terjadi di masyarakat terutama tayangan kartun di televisi / TV.

Lihat saja semenjak pagi beberapa TV Swasta nasional sudah menayangkan film kartun, siang juga, sore bahkan sekarang jam 6 sore sampai jam 8 malam juga ada film kartun, padahal 2 tahun lalu jam 6 – 8 malam sangat tabu bila menayangkan film kartun / film anak-anak karena disaat itu mereka sedang belajar. Televisi yang notabene Pendidikan malah yang menyiarkan kartun. Anak-anak senang sekali bisa melihat kartun, ketika kita melarang mereka bisa mengelak, … kasihan masa depan bangsa ini… dibodohi secara perlahan tapi nggak ngerti… WAHAI PARA PEJABAT TOLONG PERHATIKAN…. FILM KARTUN BOLEH DIPUTAR TAPI LIHAT WAKTU DONK… (jeritan orang tua dan guru)

JANGAN MEMAKSA SISWA UNTUK BELI BUKU

Sebenarnya kejadian ini sudah beberapa hari yang lalu, tapi sangat pantas kalau saya angkat cerita ini di blog pendidikan ini. Keponakan saya yang tinggal di sebuah kota kecil mengalami masalah dengan sekolah. Dia sebenarnya tidak diwajibkan untuk membeli buku pelajaran tapi guru hanya menyarankan. Karena tidak wajib beli disekolah maka Ibunya (kakak saya) mencari informasi untuk beli buku tersebut, setelah mendapt informasi ternyata harga buku yang dijual di sekolah lebih tinggi dari yang dibeli di toko.

Biasa, ibu-ibu .. kalau tahu murah pasti dibeli, nah ternyata ketika disekolah keponakan saya namanya juga anaka polos ketika ditanya ya jawab sudah beli dan harganya lebih murah, eee kok malah dimarahi (mungkin guru sedikit tersinggung). Pulang sekolah keponakan nangis ketika dijemput ibunya dan bilang Ibu dipanggil kepala sekolah. DEngan pikiran yang emosi juga Ibu menemui kepala sekolah. Sayang disini kepala sekolah kelihatannya juga lagi emosi. Karena takut ada keributan kepala sekolah memanggil beberapa guru (cari temen gitu) agar bisa menyidang kakak saya.

Sebenarnya tidak ada masalah, cuman banyak sekali kata-kata yang keluar dari Kepala sekolah ini yang menyakitkan kakak saya. Ketika pulang dia langsung lapor suami. BEli buku tidak wajib, apalagi memaksa, itu kesimpulan nya. secara tidak langsung hal ini membuat suami kakak saya bertanya ke sana kemari. Bahkan tanya ke saya juga (heheheh) saya langsung memberikan masukkan bahwa lebih baik kepala sekolah didatangi saja dulu, lalu jelaskan permasalahannya, Apakah nantinya kepala sekolah mau minta maap ? kalau tidak lebih baik minta anaknya pindah dari sekolah situ karena ini termasuk intimidasi, dan kepala sekolah sudah tidak rasional lagi.

Alhamdulillaah semuaberjalan baik bahkan kepala sekolah mengakui kesalahannya ketika suami kaka saya menjelaskan permasalahannya. Inilah sekilas kejadian yang mungkin juga terjadi disekolah lainnya, bagi mereka yang tidak mengerti bisa saja dibuat mainan oleh pihak sekolah. Intinya adalah jangan memaksa siswa untuk beli buku karena sekarang ini ada BSE, lalu ada dana BOS, BOPDA dan lainnya.

Menjadikan siswa Juara

Ada rasa bangga ketika kita para pendidik melihat siswa menjadi juara ketika mengikuti lomba. Rasanya lebih hebat daripada kita sendiri yang menjadi juara. Ingin teriak gembira, senang, akhirnya ingin menangis karena trenyuh. Ya baru kali ini saya merasakannya, sulit diungkapkan dengan kata-kata atau pun ditulis dengan huruf.

Bagaimana cara nya sih agar setidak-tidaknya kita bisa menghasilkan juara ? ini dia yang mungkin diinginkan bagi teman-teman pendidik menjadikan siswa JUARA :

1. Pilihlah siswa yang berbakat pada bidang yang akan dilombakan

2. Lakukan seleksi dengan sebaik-baiknya

3. Setelah terpilih Lakukan pelatihan secara berkala

4. Buat perjanjian dengan para siswa yang terpilih agar mereka mengikuti peraturan yang ditetapkan (ex : jadwal berlatih, saat berlatih dll)

5. Ikutkan lomba bagi mereka yang memiliki nilai terbaik (gratis), sedang yang belum memenuhi target boleh ikut tapi biaya ditanggung sendiri

6. Apabila belum menang tahun ini, buat sebagai sebagai pelajaran untuk tahun depannya baik untuk gurunya maupun murid

7. Selalu memotivasinya

Pendidikan Profesi untuk Guru ?!

Harapan para guru muda untuk segera mengikuti program pendidikan profesi guru tahun ini harus dipendam dulu. Sebab, pemerintah memastikan program penting itu baru teralisasi awal 2008 nanti, molor dari rencana awal yang telah ditetapkan pada September tahun ini.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Tim Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Depdiknas Prof Dr A. Mukhadis dalam workshop sertifikasi guru di Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya kemarin. Dalam kegiatan yang diikuti sekitar 250 peserta itu, Mukhadis memastikan bahwa program pendidikan profesi guru baru dapat dilakukan tahun depan. “Programnya sudah dirancang, bentuk juga sudah jelas,” katanya.

Bahkan, nominator Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) penyelenggara program tersebut juga telah terpilih. Ada lebih dari 30 LPTK yang bakal menyelenggarakan program tersebut. Di antaranya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Malang (UM), dan Universitas Jember (Unej). “Tidak semua LPTK yang menjadi penyelenggara sertifikasi bisa menjadi penyelenggara program pendidikan profesi guru,” imbuhnya.

Untuk tahap awal, pemerintah menetapkan kuota guru muda di seluruh Indonesia yang dapat mengikuti program tersebut sekitar 17 ribu. Khusus guru-guru SD dan SMP untuk sebelas guru bidang studi. Yakni, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, olahraga, kesenian, PPKN, bahasa daerah, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Matematika, serta Agama

Rapat pembahasan program itu sudah dilakukan pada pertengahan Juni 2007 di Jakarta. Rapat tersebut diikuti tim persiapan program pendidikan profesi guru dalam jabatan dan lima rektor lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).

Dalam program ini, semua guru dapat mengikutinya. Sebab tidak ada batasan umur, masa kerja, jam mengajar, dan usia. Namun, seleksi yang ditetapkan panitia dalam program ini sangat ketat. Selain harus menjalani tes tertulis, panitia juga akan melaksanakan penelusuran kemampuan peserta. “Peserta yang lolos tes seleksi akan menjalani pendidikan selama satu tahun,” katanya.

Orientasi utama dalam pendidikan adalah pada pengelolaan pembelajaran. Dengan demikian, dalam program tersebut peserta akan lebih banyak melaksanakan praktik pembelajaran di sekolah yang ditunjuk LPTK penyelenggara atau di sekolah mereka sendiri. “Program pendidikan ini tidak seperti kuliah,” ujarnya.

Artinya, tidak semua pelajaran yang diberikan dalam program pendidikan tersebuit diikuti semua guru. Misalnya, untuk guru yang telah banyak melakukan penelitian atau membuat buku, mereka dapat tidak mengikuti pelajaran metodoligo penelitian. Karena mereka telah mengusai hal tersebut.

Tidak hanya program yang telah dirancang, dana untuk program pendidikan profesi itu pun telah dipersiapkan. Tapi, saat ditanya tentang besarnya dana yang telah dianggarkan Mukhadis enggan berkomentar. Dia hanya menyatakan rancangan awal, dana untuk masing-masing peserta setara dengan beasiswa S-2. “Tapi itu baru usulan, belum ditetapkan,” ucap dia.

Rektor Unesa, Haris Supratno pun membenarkan tentang status Unesa sebagai salah satu nominator LPTK penyelenggara program profesi pendidikan. “Belum pasti karena SK-nya belum ada,” imbuhnya. (may)dikutip dari jawa pos

Bila Murid SD Berbahasa Inggris

Hingga akhir 1980-an, sebagian besar siswa sekolah dasar (SD) belum menerima pelajaran bahasa Inggris. Hanya segelintir SD mengenalkan bahasa Inggris kepada siswanya. pada 1990-an, bahasa inggris mulai diajarkan pada murid-murid SD kelas IV ke atas. Di akhir dekade 1990-an, bahasa inggris mulai merambah ke siswa kelas I SD, bahkan murid Taman Kanak-kanak (TK) dan playgrup alias taman bermain. Kini, bukan pemandangan aneh lagi di banyak kota, murid SD kelas I sudah mampu bercakap dalam bahasa Inggris.

Memang, belum semua SD di seluruh kota di Tanah Air sudah menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu pelajaran wajib. Namun, mulai 2007 ini, Direktorat Pembinaan TK dan SD Departemen Pendidikan Nasional akan dirintis bahasa INggris sebagai pelajaran muatan lokal di SD perkotaan. “uji coba segera dilakukan di SD-SD negeri yang berada di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Denpasar,” Kata Drs Mudjito AK, MSi, Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas.

Meski ujicoba dilakukan di sekolah negeri, namun program itu tidak membedakan sekolah negeri dan swasta. Justru peran sekolah swasta selama ini telah menjadi trendsetter pembelajaran bahasa Inggris di SD.

Program anyar Depdiknas itu juga didukung British Council, sebagai lembaga partner. British Council bukan saja dilibatkan dalam penyusunan strategi efektif pelaksanaan program pembelajaran bahasa Inggris untuk SD. Namun British Council juga memberikan bantuan dana. Salah satu kegiatan pendukung adalah penyelenggaran Simposium Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Sekolah Dasar di Hotel Bumikarsa, Jakarta, pertengahan Februari ini.

Acara dihadiri sekira 40 orang. Di antaranya, para pejabat Depdiknas, kalangan perguruan tinggi, dan para kepala subdin Pendidikan Dasar dari Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, DIY, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Juga para kepala SD Bilingual.

SEJAK KURIKULUM 1994

Sebenarnya pembelajaran Bahasa Inggris untuk SD telah ada pada Kurikulum 1994. Namun hasilnya tidak mengembirakan. Pada Kurikulum 2004, pembelajaran bahasa Inggris di SD pun kembali dikembangkan. Hasilnya sami mawon. Hingga muncul Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar Kompetensi dan Kompetensi dasar Bahasa Inggris untuk Sekolah Dasar.

Menurut Drs Mudjito, agar program kali ini berhasil, telah disiapkan metodologi pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan. “Selama ini metode pembelajaran melulu berisi penguasaan gramatikal. Juga budaya malu disinyalir sebagai penyebab kesulitan terbesar dalam aplikasi Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Padahal, di Singapura dan Malaysia yang juga punya budaya multikultur ini, warganya tak malu berbahasa Inggris dengan dialek Tiongkok, Melayu dan India yang campur aduk di dalamnya. Berbeda dengan Indonesia yang punya 700-an bahasa daerah. Orang malu mengucapkan bahasa Inggris dengan dialek kedaerahan, misalnya Inggris dialek Sunda, atau Jawa. Sehingga orang menganggap pengucapan yang benar mesti dengan logat Inggris. “Persepsi seperti ini mestinya diubah,” katanya.

Mudjito juga berharap, target kurikulum bahasa Inggris sebaiknya tidak membebani siswa. “Sebagai muatan lokal, durasi dua jam pelajaran setiap minggu sudah cukup,” kata Mudjito.

Bolehlah siswa SD mulai diwajibkan mempelajari bahasa Inggris. Namun, yang tak kalah penting penguasaan bahasa Indonesia siswa SD di banyak daerah pun masih belum baik. Semoga, semangat mengejar ketertinggalan akan penguasaan bahasa dunia itu, tak membuat bahasa Indonesia dilupakan siswa SD.